Kematian Embrio Dini Pada Sapi

Kematian embrio diartikan sebagai kematian fertilitas ovum dan embrio sampai dengan akhir implantasi. Kurang lebih 25-40% kasus kematian embrio dini terjadi dalam suatu peternakan. Kematian ini lebih sering terjadi pada periode awal embrio daripada periode akhir. Kematian embrio dini dianggap sebagai proses eliminasi genotip yang tidak sehat/baik pada setiap generasi atau adanya kebuntingan ganda pada sapi dan domba.

Setelah terjadi proses pembuahan yang terjadi pada bagian ampula dari tuba falopii, individu baru yang terbantuk disebut zigot. Zigot setelah membelah (cleavage) disebut embrio. Embrio dalam perkembangannya akan berpindah menuju rongga uterus disusul dengan proses implantasi, yaitu upaya embrio untuk mengadakan hubungan langsung dengan dinding uterus sehingga terjadi hubungan yang erat antara embrio dengan dinding uterus induknya.

PENYEBAB KEMATIAN EMBRIO DINI

Berbagai faktor yang memegang peranan penting dalam mempengaruhi perkembangan embrio atau fetus didalam uterus induknya. Faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya kematian embrio dini adalah :

1. Genetik
Kematian embrio karena faktor genetik diturunkan melalui gen letal atau terjadi mutasi selama gametogenesis yang menyebabkan gangguan fertilitas. Kematian embrio dini pada sapi sering terjadi karena perkawinan inbreeding atau perkawinan sebapak atau seibu, sehingga sifat jelek yang dimiliki induk akan lebih sering muncul pada turunannya. Kematian embrio dini karena faktor genetik memegang peranan cukup besar, yaitu sekitar 33 % dari seluruh kasus kematian embrio dini. Sebelum implantasi, embrio lebih mudah terkena pengaruh mutasi genetik dan kelainan kromosom (chromosomal aberration) diikuti oleh kematian embrio dini. Kelainan kromosom dapat dibedakan atas kelainan jumlah kromosom dan struktur kromosom. Kejadian ini tetap berlangsung karena kegagalan penyebaran kromosom atau susunan kromatin dalam sel tubuh penderita yang terjadi selama berlangsungnya proses meiosis dan mitosis dari sel telur atau sel mani yang dapat menghasilkan 2 bentuk sel yang poliploid. Aneuploid adalah kelainan kromosom hewan yang dapat terjadi karena pengurangan jumlah kromosom yang normal (2n-1), sedang poliploid adalah penambahan jumlah kromosom yang normal (2n+1). Kelainan tersebut di atas dapat menyebabkan kematian embrio dini pada sapi. Bentuk kelainan kromosom yang menyebabkan kematian embrio dini ini dapat terjadi pada sapi usia kebuntingan 8-16 hari.

2. Hormonal
Cepat dan lambatnya transport dari ovum dipengaruhi oleh keseimbangan estrogen-progesteron, yang juga akan mempengaruhi kematian embrio preimplantasi. Ketidakseimbangan kedua hormon tersebut akan menyebabkan regresi korpus luteum dan berakhirnya kebuntingan.

Periode kritis dari kehidupan embrio adalah pada periode akhir blastosis. Normalnya korpus luteum akan menghasilkan progesteron yang beraksi menutup saluran reproduksi betina sesuai dengan perkembangan embrio.

Kematian embrio pada sapi sebenarnya tidak disebabkan oleh kurangnya progesteron selama fase luteal, tetapi karena regresi dari luteal sebelum kematian embrio. Kurangnya respon terhadap hormon luteotropik juga berpengaruh pada kematian embrio pada sapi-sapi subfertil.

3. Nutrisi
Pemenuhan kebutuhan kalori dan kurangnya nutrisi spesifik (lemak, vitamin E, selenium, zing, tembaga, mangaan) akan mempengaruhi rata-rata ovulasi , fertililisasi dan juga kematian embrio dini. Sapi dengan konsumsi “rumen degradable protein” yang tinggi akan menyebabkan kematian embrio karena akan menurunkan pH lingkungan uterus selama fase luteal dimana embrio harus tumbuh. Konsumsi lemak pada sapi akan mempengaruhi produksi progesteron yang sangat penting untuk implantasi dan sebagai nutrisi yang penting untuk pembentukan awal embrio. Salah satu efek dari peningkatan konsumsi lemak akan meningkatkan ukuran folikel ovarium yang akan meningkatkan ukuran korpus luteum sehingga produksi progesteron juga tinggi.

4. Umur
Kematian embrio tinggi pada hewan yang telah bunting 5 kali dibandingkan dengan hewan muda.

5. Jumlah embrio pada uterus
Banyaknya embrio pada uterus akan berpengaruh pada tersedianya ruang untuk perkembangan embrio, suplai darah. Pada sapi dengan kebuntingan kembar lebih besar kemungkinan terjadi kematian embrio daripada bunting tunggal karena berkurangnya ruang untuk perkembangan embrio dan perebutan nutrisi intrauterin. Kematian embrio terjadi pada 3 atau 4 minggu pertama kebuntingan.

6. Suhu
Kematian embrio terjadi pada induk yang terekspos suhu tinggi seperti pada daerah tropis. Fertilisasi pada domba dan sapi pada suhu tinggi akan terganggu walaupun tetap berkembang dan akan mati pada periode kritis saat implantasi. Berkurangnya fertilisasi mungkin karena penurunan daya hidup dan perkembangan embrio pada umur 6-8 hari dan kematian embrio juga dilaporkan pada sapi-sapi yang di Inseminasi Buatan pada saat musim panas.

Stress karena panas pada usia kebuntingan 8-17 hari akan mengubah lingkungan uterus yang tidak sesuai untuk pertumbuhan embrio dan aktivitas sekretori saat bunting.

Panas akan mengantagonis efek penghambatan sekresi PGF2 dari uterus, sehingga korpus luteum akan mengalami regresi dan kebuntingan tidak dapat dipertahankan.

7. Lingkungan kandang
Sapi yang diternakkan dalam jumlah banyak dengan sedikit pengawasan akan menyebabkan sapi tidak diperhatikan dan juga mungkin program recordingnya tidak bagus sehingga terjadi kesalahan pada saat dikawinkan misalnya terlalu cepat atau terlalu lama dikawinkan.

8. Infeksi
Beberapa infeksi yang dapat menyebabkan kematian embrio dini adalah :

a. Brucellosis
Pada sapi brucellosis umumnya disebabkan oleh Brucella abortus , sedangkan pada kambing dan domba disebabkaan oleh Brucella melitensis. Brucellosis akan menimbulkan gejala retensi plasenta dan metritis.

b. Vibriosis
Vibriosis disebabkan oleh Vibrio fetus venerealis atau Campylobacter foetus venerealis. Gejala khas dari vibriosis adalah endometritis dan salphingiitis. Jika terjadi fertilisasi maka akan tejadi kematian embrio dini.Siklus estrus juga akan diperpanjang 27-57 hari.

c.Trikomoniasis
Trikomoniasis disebabkan oleh Tritrichomonas fetus yang juga akan menyebabkan kematian embrio dini. Infeksi ini akan menyebabkan kemajiran, S/C yang tinggi (5x lebih), angka kebuntingan yang rendah, abortus dini dan pyometra.

9.Lingkungan uterus
Adanya endometritis parturient dan tidak kondusif untuk kebuntingan mungkin juga disebabkan ingesti substansi steroid eksogenik atau ketidakcukupan sekresi endogen progesteron.

10. Laktasi
Selama periode laktasi, kematian embrio dini dapat terjadi ternak sapi. Terjadinya kematian embrio dini ditandai dengan perpanjangan waktu siklus birahi setelah IB yang terakhir. Pengaruh buruk dari laktasi terhadap perkembangan embrio sampai saat ini belum jelas benar. Diduga ada hubungan dengan ketidakseimbangan hormonal selama laktasi, khususnya hormon progesteron terhadap kehidupan embrio dalam uterus. Tetapi, mungkin juga karena stress menyusui atau produksi susu yang tinggi menyebabkan embrio dalam uterus tidak cukup pakan untuk perkembangannya. Disamping itu ada kemungkinan bahwa proses involusi uteri yang belum sempurna setelah melahirkan, bila terjadi pembuahan dapat menurunkan kemampuan embrio yang terbentuk dalam mengadakan perlekatan pada dinding uterus pada proses implantasi, sehingga mudah terjadi kematian embrio dini.

11. Faktor kekebalan
Setelah proses pembuahan, pada tubuh induk terjadi persentuhan dengan antigen berasal dari sperma dan embrio. Jika mekanisme immunosupresi tidak berjalan dengan baik, maka antibodi yang terbentuk akan mengganggu kehidupan embrio di dalam uterus. Ketidakcocokan antara unsur kekebalan yang berasal dari induk dengan embrio dapat menyebabkan kematian embrio, kematian fetus atau pedet yang baru dilahirkan. Pada sapi penderita dengan golongan darah yang mengandung zat transferin (beta globulin) dan antigen “J” di dalam serum darah, dapat bertindak sebagai penyebab kematian embrio sehingga menimbulkan angka kebuntingan.

12. Kesuburan sperma
Waktu subur (fertile life) dari sperma berkisar antara 18-24 jam. Penyimpanan sperma (baik penyimpanan dingin maupun beku) dapat menurunkan kesuburan sperma. Kesuburan sperma yang menurun karena disimpan, mempunyai peranan dalam mendorong terjadinya kematian embrio dini. Dari pengalaman di lapangan tentang pengenceran dan penyimpanan sperma sapi pada suhu rendah menyimpulkan bahwa tidak ada akibat kematian embrio bila diinseminasikan pada sapi aseptor IB. Inseminasi buatan yang dilakukan pada induk sapi yang terlalu awal dari masa birahi, dapat menyebabkan sperma menjadi terlalu tua pada saat proses pembuahan. Akibatnya zigot yang terbentuk dalam keadaan lemah, yang dalam perkembangannya akan diikuti oleh kematian embrio dini.